Lucu memang saat orang lain mengira kita adalah pasangan.
Saat hubungan pertemanan kita membuat ku selalu merasa nyaman kemudian berubah jadi cinta antara kita, aku menyadari itu. dan orang lain juga menduga demikian. Tetapi tak bisa beranjak kemana mana karena walaupun tangan bergandengan ada beberapa hal yang seperti melingkari pergelangan kita masing masing, dan itu bernama keyakinan.
Friday, March 21, 2014
Nyaman
Wednesday, March 12, 2014
A Friend Called HOPE!
Setiap manusia hampir bisa di pastikan memiliki paling tidak 1 lagu favorit, lagu kesukaannya atau bahkan lagu yang di anggap sebagai "backsound hidup". Lagu itu mungkin telah membuat mereka tersentuh dengan pesan yang terkandung di dalam nya. Apalagi jika dirasa mewakili moment penting dalam hidupnya. Saya yakin lagu itu akan menjadi penghuni tetap playlist media pemutar musik baik hp atau laptop.
Saya pun demikian. Meski setiap hari nya saya bisa mendengarkan puluhan lagu dari band / penyanyi dan genre yang berbeda-beda, mulai dari Rihanna hingga Viraemia tapi tetap ada 1 lagu yang sangat saya suka, amat sangat saya suka (selain There is a light that never goes out tentunya). Sebuah (lagu) magnum supermega opus berjudul The dead flag blues milik Goodspeed You! Black Emperor telah menjadi lagu "backsound hidup" sakral bagi saya selama beberapa tahun ini. Sebuah lagu yang judulnya terkadang masih susah saya sebutkan dari kelompok musisi hebat asal Quebec yang menamakan dirinya dengan nama yang juga tak mudah di ingat begitu saja. Bagi saya lagu itu lebih bisa memberi ketenangan dari Emmylou milik First Aid Kit, lebih sakral dari Imagine milik John Lennon, dan lebih membakar dari Motorhead dengan Ace of Spades nya.
GYBE bagi saya bukan hanya sekedar band, bahkan mungkin terlalu kurang ajar jika saya sebut mereka adalah band. Karena bagi saya mereka lebih mendekati ide dari sebuah wacana, emosi dari sebuah orasi, semangat dari sebuah pergerakan dan harapan dari sebuah doa. Mereka beranggotakan 9 orang, tapi tak memainkan orchestra ataupun melakukan musikalisasi puisi. Mereka tak memiliki vocalis tetap, tak memiliki leader, tak mau ada wawancara, dan tak pernah merilis logo, tshirt, apalagi photo press. Tentulah dengan kode etik seperti itu saya tak pernah benar benar tau bagaimana wajah orang orang di balik nama mereka. Dengan kode etik yang mereka pegang, secara tak langsung mereka telah melahirkan totalitas pembangkangan yang belum dan mungkin tak pernah berani (bisa) di lakukan oleh band lain, baik itu di era Jim Morrison hingga era One direction seperti sekarang.
Lagu mereka tidak seperti lagu yang sering kita dengarkan. Berdurasi rata-rata di atas 10 menit, berunsurkan drones panjang, kesunyian sebagai jeda di tengah beberapa instrumen, dentingan triangle, bagpipes, suara kaset loop crackling, gerimis hujan, dan letupan crescendo sebelum kembali hening. Lagu mereka instrumental, nir vocal. Sehingga membuat sebagian orang menyebutnya post-rock atas alasan memakai instrument rock. Namun bagi saya GYBE melampaui apa pun yang orang tau / pikirkan tentang musik apalagi dipersempit kedalam post-rock. Mereka selalu mampu menghadirkan moment religius setiap kli saya putar. Mulai dari slide gitar yang tenang, petikan bass yang menentramkan, sayatan biola nya yang indah tapi menyakitkan, ketukan drum yang seperti mewakili detak jantung, hingga accordion dan harpa yang saling mengisi di balik tumpukan nada indah lainnya.
GYBE hadir di waktu yang tepat dalam hidup saya. Mereka hadir hanya beberapa hari setelah saya bisa benar-benar bisa memaknai lagu mereka menjadi lebih dalam. Itu adalah masa di mana saya masih menjadi mahasiswa baru, semester 2. Yang dimana itu berarti belum genap 1 tahun saya hidup di luar rumah. Masa dimana saya kehilangan seorang ibu di suatu pagi yang meminta terus di ingat selama beberapa bulan dengan rasa sesak di dada. Masa dimana saya mulai merasakan runtuhnya harapan dan keyakinan akan banyak hal. Masa dimana perubahan-perubahan datang dan mengalir begitu saja. Masa dimana saya mulai memikirkan nasehat seorang yang pernah berkata "nanti jika kamu sudah berusia 50, kamu harus bersiap kehilangan, kamu akan banyak di tinggalkan teman dan kerabat menghadap penciptanya" lalu terus menerus membatin "nasehat itu salah besar. Saya belum saja genap berusia 20. Tapi sudah kehilangan banyak"
Saat itu saya hanya bisa duduk membiarkan lagu itu tetap terputar, seperti rokok pada nyala bara yang tak habis terbakar. Saya masih ingat bagaimana moment itu tersusun. Dari rangkaian kalimat kalimat berat yang coba di permudah lewat telepon oleh kakak perempuan saya saat mengabari kepergian ibu menghadap penciptanya pagi itu. - di ruang lain lagu itu tetap terdengar berulang. Lalu entah kenapa saya seperti bisa mendengar setiap bagian pada The dead flag blues. Mulai dari drones, petikan senar bass yang tersembunyi pada lapisan riff guitar hingga baritone seorang yang besuara menahan, seperti di posisikan sebagai prajurit penjaga pantai normandia sebelum sekutu menyerang dan diberitahu jika perang akan di menangkan pihak lawan. Seperti menutup mata di tengah rel kereta yang entah dimana bersama daun daun pohon oak yang mengering lalu menghilang. Seperti menyaksiskan langsung proses-proses kehancuran yang mengalir dari ujung kaki hingga ujung kepala tanpa bisa melakukan apa-apa. Sebelum kemudian suara biola menggiring saya pada 17 menit paling menggetarkan dalam hidup.
Goodspeed You! Black Emperor tak hanya merubah banyak pandangan saya tentang musik, namun juga pada dunia sejak saat itu. Mereka mengajarkan hal-hal yang bahkan tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Mereka memberikan ide-ide dan gambaran apa yang harus di lakukan ketika harapan runtuh, keyakinan memudar tetapi hidup harus tetap di lanjutkan. Dan mereka mengajarkan juga bahwa teman yang tidak akan pernah terlalu jauh meninggalkan kita ternyata bernama Harapan...